Pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, industri game olahraga berkembang pesat, khususnya game sepak bola. Judul-judul besar seperti FIFA dan ISS mendominasi pasar karena mereka menawarkan pengalaman bermain yang realistis dan menegangkan. Di tengah persaingan sengit itu, Adidas Power Soccer muncul sebagai game yang digadang-gadang bakal merevolusi genre sepak bola digital. Kehadiran Adidas di balik game ini membuat penggemar langsung menaruh ekspektasi tinggi.
Lahir dengan Hype, Tapi Penuh Janji
Infogrames merilis Adidas Power Soccer pada 1999. Shaba Games mengembangkan versi PlayStation, sementara Running With Scissors menangani beberapa versi PC. Perusahaan meluncurkan kampanye marketing agresif dan menampilkan branding Adidas yang kuat sehingga gamer percaya game ini akan menampilkan grafis memukau, kontrol presisi, dan sensasi bermain sepak bola yang menegangkan. Namun, ekspektasi tinggi itu ternyata menjadi pedang bermata dua.
Kontrol Kaku dan Gameplay Membosankan
Ketika gamer memainkan Adidas Power Soccer, mereka kerap merasa kecewa. Kontrol terasa lambat dan kaku, dribel serta umpan sering tidak responsif, dan animasi pemain sering tidak sinkron dengan gerakan yang diinput. AI lawan mudah ditebak dan strategi yang bisa diterapkan terbatas, sehingga setiap pertandingan cepat terasa monoton. Versi PlayStation hanya menampilkan grafis standar, sementara musik dan efek suara yang repetitif gagal membangkitkan atmosfer stadion. Versi PC sering crash dan mengalami glitch, sehingga pengalaman bermain menjadi frustrasi.
Hype Besar, Bumerang Nyata
Branding Adidas yang kuat justru memperburuk persepsi terhadap kegagalan game ini. Alih-alih menyempurnakan mekanik dasar, pengembang fokus pada fitur tambahan yang akhirnya tidak berfungsi. Akibatnya, promosi bombastis gagal menutupi gameplay yang membosankan, dan banyak pemain meninggalkan game setelah beberapa kali mencoba. Kritikus pun memberi review negatif: IGN menyoroti kontrol buruk dan gameplay repetitif, sedangkan GameSpot menilai game ini lebih menarik bagi penggemar Adidas daripada pecinta sepak bola sejati. Bahkan komunitas gamer sering mengejek game ini sebagai “one-time play” karena mereka tidak menemukan motivasi untuk memainkannya berulang kali.
Pelajaran untuk Industri Game
Meski gagal, Adidas Power Soccer tetap memberikan pelajaran penting bagi industri game. Hype besar tanpa fondasi gameplay yang solid selalu menjadi bumerang. Oleh karena itu, pengembang harus memprioritaskan kualitas mekanik dasar dan pengalaman bermain. Game ini juga mengingatkan pengembang agar menyesuaikan janji fitur dengan kemampuan nyata tim mereka.
Kesimpulan: Nostalgia atau Peringatan?
Secara keseluruhan, Adidas Power Soccer menjadi contoh klasik game yang overhyped tetapi gagal total. Branding besar dan promosi ambisius tidak mampu menutupi kontrol buruk, gameplay repetitif, dan masalah teknis. Kini, gamer lebih mengenang game ini sebagai pelajaran berharga tentang pentingnya kualitas dan integritas gameplay. Penggemar retro masih bisa mencoba game ini untuk nostalgia, meski pengalaman sepak bolanya jauh dari memuaskan.